Ulasan / review Novel: The Boy Who gave his heart Away
Ulasan Novel: The Boy Who gave his heart Away
”Kehidupan yang terlahir dari kematian”
Oleh: Spireads a.k.a vhiipi
π The rent collector (2018)
π©π» Cole Moreton
π’ Mahaka Publishing / penerbit republika
π
307 Halaman
Novel ini adalah kisah nyata tentang dua orang anak laki-laki remaja yang dengan takdirnya masing-masing yang saling terikat. Penulis sendiri yang mendengar langsung cerita bak dongeng ini dari para keluarga anak laki-laki itu. Sebagai bukti bahwa buku ini layak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yakni karena ialah pemenang New York festival world’sbest radio award kategori penulisan, medis dan isu sosial. Buku ini work it dibaca sebab mengandung isi dan tema yang jarang diangkat dan ditelaah secara realistis.
Marc dan Martin adalah dua remaja yang berbeda meski nama dan usianya kurang lebih sama. Mereka dipisahkan oleh jarak yang bermil-mil jauhnya, dilahirkan dari orang tua yang berbeda, kepribadian yang berlainan, namun sama-sama mencintai sepak bola. Seperti yang tertulis pada blurb-nya, buku ini berisikan kisah di mana kehidupan selalu membuat manusia bertekuk lutut pada takdir. Antara kehidupan dan kematian, isu pendonoran organ sukarela, luka yang menganga setelah kepergian, dan perasaan lainnya. Terangkum dengan baik dan menyentuh pada setiap kata di buku ini melalui alur mundur dan nostalgia para tokohnya. Alurnya mungkin terasa tergesah-gesah, tetapi sebenarnya apa yang terjadi pada Marc dan Martin- lah yang membuat semuanya terkesan cepat. Meski begitu, penggambaran latar tempat, waktu dan suasananya sangat terasa sampai ke pembaca. Terlihat pada narasi yang menggambarkan daerah tempat tinggal Sue—Ibu Martin. Juga bagaimana ketika narasi dan dialog Linda bergantian meggambarkan kekalutannya saat Marc harus diantar ke rumah sakit sesegera mungkin. Saya bahkan menahan napas saat membayangkan betapa semrawut pikiran Linda saat itu. Tahun 2003 adalah latar waktu di mana semua kesedihan sekaligus keajaiban dimulai pada kisah ini. Waktunya dituliskan secara jelas mengingat cerita ini menggunakan penulisan dalam campuran novel dan wawancara.
Konflik di buku ini berkisar pada kekalutan Linda ketika Marc yang tiba-tiba sakit dan tak sadarkan diri, serta Martin yang mendadak pingsan saat sang Ibu terbangun tengah malam. Bukan hanya itu, buku ini pun menggambarkan friksi setelah melakukan pendonoran. Di mana salah satu dari Ibu anak-anak itu begitu tersentuh karena anaknya selamat dan ingin mengetahui siapa keluarga dari sang pendonor yang pada aturannya itu tidak diperbolehkan. Semua itu dipaparkan dengan baik dari awal hingga akhir oleh penulis. Penyelesaiannya pun dijelaskan hingga anak itu hidup bertahun-tahun kemudian.
“kami tidak memiliki rekaman suaranya. Sama sekali. Ini sungguh berat. Aku bisa mengingat wajahnya, karena aku punya banyak fotonya, tapi suaranya memudar dalam ingatan. Kita mengira bisa mengingat suara, tapi nyatanya tidak. Itu satu hal yang kuharap: memiliki rekamannya, suaranya.”
Kemudian, ada Len dan Joan—orang tua Sue yang setia menemani, Nigel Burton—Ayah Martin yang meski jarak selalu memisahkan tapi tak pernah memupus keakraban, Norrie—Ayah Marc yang selalu sedia, Harris vyash dokter, para perawat, paramedis dan polisi yang meski tak disebutkan namanya tetapi ketulusan mereka dalam bertindak tersampaikan dengan baik. Cristhoper—kakak Martin yang bertanggung jawab, Leasa—kakak pertama perempuan Marc, Darren dan Ryan—kakak Marc serta Daryl—adik Marc yang selalu menyayangi satu sama lain. Semua tokoh itu dihidupkan sembari juga menghidupkan jiwa dan kepribadian Marc juga martin. Dalam setiap perilaku dan dialog mereka. Dalam setiap diksi yang membuat saya menangis sejak awal cerita buku ini.
Yang kira-kira ….
Tak ada yang bisa saya kritik atau tambahkan untuk isi buku ini. Semuanya tersampaikan dengan sangat baik. Dan aku rasa aku tidak berhak menilai seberapa bagus atau tidaknya buku ini, mengingat ini adalah kisah nyata dan penulis berhak menyampaikannya dengan caranya. Terjemahannya pun menakjubkan. Penampilan dan penyusanan setiap paragraf, kalimat dan dialog sangat pas bagi saya. Namun, melihat sampul buku ini, meski mungkin memang menggambarkan inti dari cerita, tetapi saya berharap sampulnya lebih memiliki detail yang penting, misalnya menambahkan ilustrasi dua anak remaja atau font yang digunakan lebih bervariasi. Itu untuk membuat para pembaca di luar sana lebih tertarik membeli dan membaca buku dengan segudang amanat ini. Saya sangat berharap, banyak yang membaca buku ini dan membagikan pengalaman mereka.
Lastly! …
Saya penasaran, apakah reaksi penerjemah dan editor serta semua yang terlibat dalam novel terjemahan ini sama dengan reaksi saya saat membacanya?! Menyayat dan menampar hati saya berkali-kali. Menarik saya kembali pada pertanyaan “seberapa besar kamu menyayangi keluargamu?”. Setiap orang mungkin menemukan pesan yang berbeda-beda saat membaca buku ini, tetapi saya berharap kita belajar berjuang dan tulus mencintai pada apa yang kita miliki saat ini. Entah itu keluarga yang paling utama atau teman, harta-benda yang tak ingin berkurang, Kesehatan yang tampak sepele ketika kita sedang baik-baik saja ataupun rutinitas sulit nan membosankan seperti bangun pagi. Membaca buku ini mengingatkan saya untuk menghargai semua itu, terutama menghargai ‘kesempatan’.
Komentar
Posting Komentar